Pic from microbiologysociety.org |
"Uhuk... uhuk...!"
Satu orang di sebelah rak susu mulai batuk-batuk.
"Uhuk... uhuk... uhuk!"
Orang di sebelah rak makanan instan batuk lebih keras.
"Huek...!"
Ya Allah, seseorang tak jauh dari meja kasir batuk darah.
Maka kacaulah keadaan di supermarket itu. Situasi yang tadinya hiruk pikuk karena orang berebut ingin membeli bahan makanan, semakin tidak terkendali.
Semua berebut ingin keluar. Sayang, di pintu keluar tentara sudah menghadang. Tidak ada yang boleh keluar dari sana. Banyak yang melawan, tetapi moncong senapan sudah menghadang.
Pintu besi perlahan mulai turun. Tanda supermaket akan ditutup total dengan ratusan orang terkunci di dalamnya. Orang-orang ribut, suasana mencekam. Wanita dan anak-anak menangis ketakutan. Tidak sedikit yang berusaha menjebol pintu. Namun sia-sia.
Kondisi di luar supermarket lebih kacau. Orang-orang berjatuhan di jalan. Kendaraan saling bertabrakan. Kota mulai diisolasi. Tidak ada yang boleh keluar. Militer pun berjaga dengan ketat.
Apakah ini nyata? Tenang, ini hanya sekelumit kisah dalam film The Flu produksi Korea Selatan. Kisah tentang wabah yang menular dalam hitungan detik, dari satu orang ke ribuan lainnya.
Saat terjadi wabah seperti kali ini, apa yang diserukan pemerintah dan ulama harus diikuti. Isolasi diri akan menghindarkan wabah meluas.
Kita tidak tahu, siapa saja yang membawa virus dalam tubuhnya. Mereka berkeliaran di jalan, bertemu banyak orang, menyapa, tanpa tahu dirinya mengandung virus.
Ini yang berbahaya. Saat diri tidak menunjukkan gejala awal, tetapi virus sudah berkembang. Pembawa hanya menunggu gejala awal timbul. Tapi penularan lewat pembawa sudah tidak terhitung.
Jadi, kenapa masih ngotot untuk berkeliaran di luar rumah. Beraktivitas dalam rumah, menjaga daya tahan tubuh kita dan orang lain. Bukankah menghindari kerusakan yang lebih masif lebih utama?
#dirumahaja
#isolasidiri
#aktivitasdirumah
Bogor, 22 Maret 2020
@yanidasikun